DAERAH TERKINI Top Stories
Beranda » Blog » Lakon di Tanah Raja-Raja yang Korup

Lakon di Tanah Raja-Raja yang Korup

Oleh : Asterlita Tirsa Raha (Mahasiswa Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia)

Mari kita rayakan “penobatan” tanah kita, Provinsi Maluku Utara, sebagai wilayah paling korup di Indonesia pada tahun 2024. Ironi ini tak pernah sepenuhnya saya percayai, terutama ketika setiap akhir tahun para pejabat dengan bangga memamerkan foto-foto mereka menggenggam predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penghargaan ini, yang seharusnya mencerminkan kepatuhan laporan keuangan terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), tampaknya hanya menjadi selubung yang menutupi kenyataan.

Bagaimana mungkin provinsi dengan laporan keuangan “sempurna” justru dinobatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai wilayah paling korup di negeri ini?

WTP telah menjadi ilusi yang dipertahankan para pejabat, seolah-olah semua berjalan baik-baik saja. Namun, di balik penghargaan tersebut, tersembunyi kenyataan yang getir: Maluku Utara, tanah yang kaya akan logam nikel yang diincar dunia, menyimpan paradoks besar.

Kekayaan alam yang melimpah beriringan dengan kemiskinan struktural, dan janji-janji kesejahteraan justru bertabrakan dengan kenyataan pahit korupsi. Nikel, yang seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat, telah menjelma menjadi kutukan.

Seperti panggung drama, setiap aktor memainkan perannya dalam cerita besar yang semakin kelam, di mana impian akan kemakmuran berubah menjadi ironi yang menyakitkan.

Korupsi itu seumpama mengisap darah saudara sendiri, sebuah luka yang tidak hanya menyakitkan, tetapi juga mencemarkan.

Ia bukan sekadar cerita tentang tangan yang merampas lembaran mata uang dan menyelipkannya ke dalam kantong pribadi. Korupsi adalah pengkhianatan pengkhianatan terhadap tanah, terhadap air, terhadap mereka yang menggantungkan hidupnya pada janji-janji yang dikhianati berkali-kali. Korupsi tidak bisa dimaafkan, bahkan mustahil untuk didamaikan.

Bagaimana mungkin kita berdamai dengan kemalangan yang kita lihat setiap hari? Dengan air yang berubah merah, dengan tanah yang tak lagi memberi kehidupan, dengan mimpi-mimpi yang terkubur di bawah puing-puing pohon yang ditebang?

Korupsi adalah penyakit yang menjalar di nadi negeri ini, dan kita, dalam diam, seolah telah terbiasa dengan racunnya.

Tapi tidak, ini bukan tentang kebiasaan ini tentang pembiaran. Tentang kita yang dengan sadar atau tidak, telah meminum racun itu dan menyebutnya takdir.

Ini adalah kisah dari tanah di mana kekayaan alam bertemu dengan kemiskinan, di mana janji-janji kesejahteraan tak pernah benar-benar berlabuh, melainkan bertabrakan dengan kenyataan pahit bernama korupsi.

Maluku Utara, belum lama ini, menjadi salah satu episentrum utama dalam narasi tambang nikel Indonesia.

Nikel, bahan strategis yang digadang-gadang sebagai tumpuan transisi energi demi menyelamatkan bumi, datang membawa janji besar.

Janji masa depan dunia. Tetapi, apa arti semua itu bagi tanah yang diinjak oleh kaki-kaki yang lelah? Bagi air yang diminum oleh mereka yang tinggal di tepi-tepi cerita ini?

Di kabupaten seperti Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, kekayaan alam yang melimpah tidak datang sebagai berkah.

Ia datang membawa luka. Tanah dibelah, tubuhnya terburai. Pohon-pohon, yang dulu berdiri gagah, kini runtuh satu per satu. Sungai-sungai, yang pernah jernih seperti cermin langit, berubah merah oleh limbah tambang, seperti luka yang terus menganga.

Ironisnya, hasil tambang yang melimpah dari Halmahera Timur tidak pernah benar-benar hadir sebagai keadilan bagi masyarakat lokal.

Mereka, yang menjadi penonton pertama dari drama ini, hanya menerima pecahan-pecahan kecil, sisa dari pesta besar yang tak pernah mengundang mereka.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 berbicara dengan angka-angka yang dingin, keras, dan jauh dari manusia. Angka-angka yang membisikkan ketimpangan besar, ironi yang tajam, di tanah dengan potensi sumber daya alam yang begitu luar biasa.

Tetapi cerita ini tidak hanya berhenti di angka. Ia berdarah, berdenyut, dan terus bergerak seperti luka yang tidak pernah sembuh.

Sebuah penegasan bahwa keberadaan tambang malah memperburuk kerentanan sosial dan lingkungan. Janji kesejahteraan yang seharusnya hadir bersama kekayaan tambang justru bergeser menjadi realitas yang dipenuhi ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat dan ekosistem.

Masalah utama yang dihadapi oleh Maluku Utara membenarkan sebuah cerita dari bentuk “kutukan sumber daya”.

Kutukan itu menggambarkan kondisi di mana kekayaan sumber daya alam seperti nikel tidak membawa kesejahteraan, melainkan memicu eksploitasi berlebihan dan korupsi.

Situasi ini sangat relevan dalam konteks Maluku Utara, di mana pengelolaan tambang seringkali diselimuti oleh praktik manipulasi perizinan dan lemahnya tata kelola.

Kondisi ini menjadi gambaran jelas mengapa sektor lain, seperti pertanian dan perikanan, justru terpinggirkan. Ketergantungan yang berlebihan pada ekstraksi sumber daya alam membuat fokus ekonomi daerah terlalu berat pada industri tambang, sementara potensi sektor lain yang lebih berkelanjutan diabaikan begitu saja.

Masa depan Maluku Utara bukanlah soal berapa banyak nikel yang tersimpan di perut buminya, melainkan seberapa arif kekayaan itu diperlakukan.

Tanah ini bukan sekadar tambang yang menunggu digali, tapi tubuh yang terus menjerit dalam diam, merintih di balik pujian-pujian palsu atas kemajuan yang tidak pernah datang.

Tata kelola yang adil dan transparan bukan hanya tentang aturan, ia adalah soal hati nurani, soal keberanian untuk bertanya: siapa yang sebenarnya berkuasa atas tanah ini? Masyarakat setempat mereka yang menginjak tanah ini dengan telapak kaki mereka, yang meminum airnya, yang menyebutnya rumah harus menjadi pusat cerita, bukan sekadar figuran yang hilang dalam debu tambang.

Lingkaran ini terus berputar: eksploitasi, korupsi, kehancuran, seperti roda tua yang sudah berkarat tetapi tetap dipaksa berputar.

Di atas panggung ini, aktor-aktor bermain dengan skenario yang sudah basi. Reformasi? Itu hanya kata yang terdengar indah di seminar dan rapat-rapat resmi, sementara di bawah sana, sungai tetap merah, tanah tetap retak, dan hidup terus berjalan dalam kemiskinan yang sama.

Tapi, apakah ini takdir? Kutukan sumber daya yang seolah ditulis di atas batu cadas? Atau mungkin, jika ada yang berani, ada ruang untuk menulis ulang, untuk membalikkan arus, untuk menempatkan kehidupan manusia dan alam di atas segala laba dan angka-angka di neraca perusahaan. Ironi itu mencubit, bahkan menyayat.

Di tanah yang kaya nikel ini, kemiskinan bernafas lega. Korupsi tumbuh subur, menciptakan lingkaran emas bagi segelintir elit, sementara masyarakat lokal hanya mengais remah dari pesta besar-besaran yang tidak pernah mengundang mereka.

Di mata dunia, Maluku Utara berdiri di periferi, seperti yang dikatakan Wallerstein dalam Teori Sistem Dunianya. Sebuah pinggiran yang hanya menjadi pemasok bahan mentah bagi negara-negara inti.

Nikel diambil, kekayaan mengalir, tetapi bukan ke sini, melainkan ke perusahaan multinasional, ke pusat-pusat ekonomi dunia yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di tanah yang rusak dan meminum air yang terkontaminasi.

Namun, tanah yang retak ini, sungai yang merah ini, mungkin masih bisa disembuhkan. Tidak dengan janji-janji kosong atau lembaran-lembaran laporan yang berkilau.

Tapi dengan keberanian. Keberanian untuk mendengar jeritan tanah, keberanian untuk menyelamatkan sungai, keberanian untuk melawan.

Jika ada yang berani menulis ulang cerita ini, mungkin kutukan itu tak harus menjadi takdir. Mungkin, tanah ini masih bisa pulih. Mungkin, saya masih pesimis tentang ini.

Ketergantungan Maluku Utara pada investasi asing dan teknologi dari negara-negara inti mempertegas posisinya sebagai periferi.

Sementara itu, kebijakan hilirisasi nikel yang digalakkan pemerintah, meskipun bertujuan meningkatkan nilai tambah domestik, tidak sepenuhnya berhasil karena lemahnya tata kelola dan korupsi struktural di tingkat lokal.

Bagaimana dengan masyarakat? Mereka bukan pemeran utama dalam cerita ini. Mereka adalah figuran yang dilempar ke sudut panggung, hanya hadir untuk menyaksikan tanah mereka menjadi kerontang, sungai-sungai mereka menjadi racun, dan masa depan mereka menjadi teka-teki.

Di desa-desa yang kehilangan akses air bersih, perempuan mengangkat beban yang tidak hanya berbentuk ember, tetapi juga harapan dan keputusasaan. Dalam diam, mereka belajar bertahan.

Dalam gelisah, mereka menanam benih perlawanan. Seperti emas dalam mitos lama, nikel membawa kutukan bagi mereka yang tinggal terlalu dekat dengannya.

Tetapi ini bukan cerita tentang dewa-dewa yang murka, ini adalah cerita tentang manusia yang terlalu rakus. Di balik setiap laporan produksi nikel yang membanggakan, ada desa yang kehilangan suaranya.

Di balik setiap dolar yang dihasilkan, ada tetesan keringat dan air mata yang tidak pernah dihitung. Para petani kehilangan lahan, para nelayan kehilangan laut yang bersih, dan para perempuan kehilangan waktu yang berharga karena harus menempuh perjalanan lebih jauh demi air bersih.

Maluku Utara berdiri sebagai panggung yang tak pernah berhenti memainkan lakon: tanah yang retak, sungai yang merah, dan cerita yang terus berulang di negeri raja-raja yang korup.

Akhir, mari rayakan penobatan tetapi dengan berubah jangan menormalkan cerita ini lalu mengeras dalam identitas kita.***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan