OPINI  

Kegagalan Elektrifikasi di Maluku Utara, Konflik Monopoli PLN dan Maladministrasi Kebijakan Energi

Oleh : M. Riski A. Karim
Provinsi yang gemerlap, karena industri nikel dan ekspor komoditas, yaitu, Maluku Utara, kenyataannya masih banyak desa yang hidup tanpa listrik yang stabil. Ini bukan sekadar persoalan geografis, melainkan permasalahan sistemik untuk monopoli yang mengekang kebijakan yang melamban, dan rakyat yang tertinggal.

Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 98,7 % , rumah tangga di Maluku Utara memiliki penerangan dari listrik, namun angka yang terhubung langsung ke jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanyalah sekitar 94 %.

Selisih ini yang menunjukkan bahwa masih ada ribuan rumah tangga yang bergantung pada alternatif sementara, seperti genset atau lampu tenaga surya pribadi, bukan layanan listrik formal.

Sementara itu, laporan dari Ombudsman Republik Indonesia, mencatat bahwa masih terdapat desa-desa yang belum teraliri listrik dan mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk mempercepat pemerataan.

Namun kegagalan ini tidak sekadar soal angka, penting untuk menyoroti bahwa saat desa dan dipulau kecil masih menanti terang, kawasan industri smelter nikel justru menikmati pasokan listrik penuh 24 jam.

Pemerintah provinsi mencatat masih ada 78 desa yang belum memperoleh listrik lengkap, dengan 43 desa baru akan selesai pada 2026 dan durasi listrik yang ditargetkan pun hanya 12 jam per hari.

Namun investasi pembangkit baru berkapasitas 20 MW diarahkan ke kawasan industri, prioritas listrik jelas bukan untuk rakyat.

Monopoli PLN: Hambatan Major Elektrifikasi

PLN, pada kenyataannya (de facto) menguasai seluruh rantai kelistrikan publik di Indonesia. Mulai dari produksi, transmisi, distribusi hingga penjualan listrik, secara sistem monopoli ini terstruktural menimbulkan hambatan besar, persaingan (kompetisi) inovasi melemah, tanpa alternatif penyedia.

Desa dan pulau menjadi konsumen pasif, tanpa otonomi lokal, potensi energi terbarukan lokal tersingkir.

Kajian dari International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa PLN memegang “monopoli kepemilikan dan operasi jaringan transmisi dan distribusi listrik” di Indonesia.

Analisis Lexology menegaskan,”PLN holds a de facto monopoly for the transmission, distribution and supply of electricity”,

Artinya: bahkan jika sebuah desa ingin membangun sistem energi lokal, mereka tetap harus melewati gerbang PLN tanpa jaminan akses, dengan demikian listrik bukan hanya soal teknis, tetapi soal kuasa.

Maladministrasi Kebijakan Energi

Jika monopoli PLN adalah hambatan struktural, maka pemerintah provinsilah yang memegang kunci perubahan. Sayangnya, kunci itu tidak dipakai secara maksimal.

Dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJMD) Maluku Utara 2024–2026 memang mencantumkan target proses mengganti penggunaan energi dari bahan bakar fosil dengan energi listrik (elektrifikasi) dan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Tetapi tidak disertai roadmap teknis yang jelas desa mana, teknologi apa, kapan pembiayaan dialokasikan.

Rencana jangka panjang 2025–2045 pun menyebut digitalisasi dan energi terbarukan sebagai kefokusan, namun kenyataan di lapangan tetap tertinggal.

Sistem perencanaan tanpa operasional yang kuat menghasilkan proyek-proyek terlambat, dana mengendap, dan target menjadi angka politis bukan kenyataan di rumah warga. Desa dan pulau menunggu, sementara proyek industri berjalan tanpa hambatan.

Secara teknis, untuk desa terpencil di Maluku Utara bukanlah persoalan, tidak bisa dialiri listrik. Solusi modern sudah tersedia, sistem micro-grid berbasis energi terbarukan.

Alih-alih membangun jaringan kabel PLN ratusan kilometer (KM) yang akan menghadapi resistansi tinggi dan kerugian daya besar, model yang lebih rasional adalah panel surya, baterai penyimpanan, inverter pintar yang mengatur aliran listrik secara otomatis.

Dengan potensi radiasi matahari 4,8-5,3 satuan yang digunakan untuk mengukur radiasi matahari atau konsumsi energi per meter persegi sehari (kWh/m²), sebuah desa kecil 100-150 rumah cukup dilistriki dengan sistem kapasitas 40-60 kWp dan baterai 150-200 kWh dan biaya investasi jauh lebih rendah.

Operasional hampir tanpa biaya bahan bakar, namun pilihan teknis ini terhambat oleh regulasi yang masih mengandalkan jaringan PLN sebagai satu-satunya jalan distribusi.

Olehnya itu, bahwa kegagalan proses mengganti penggunaan energi dari bahan bakar fosil dengan energi listrik (elektrifikasi) di Maluku Utara, bukan karena medan sulit atau teknologi yang belum siap.

Kegagalan ini adalah hasil dari struktur monopoli yang tertutup dan kebijakan energi yang tidak memihak.

Listrik harus dijamin sebagai hak dasar rakyat, bukan bagian dari rantai investasi industri, hanya ketika akses energi menjadi prioritas nyata, barulah pembangunan bisa disebut adil dan berkelanjutan. ***

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page