OPINI  

Mangoli Rawan Banjir: 10 IUP Adalah Jalan Menuju Bencana

Oleh: Aliansi Masyarakat Kawata Tolak Tambang (AMKTT)

 Banjir yang melanda Desa Mangoli, Kecamatan Mangoli Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula Maluku Utara tepat di hari kemerdekaan Indonesia bukan sekadar musibah musiman.

Ia adalah alarm yang menggedor kesadaran kita, tanda keras bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola ruang dan lingkungan di Pulau Mangoli.

Peristiwa ini bukanlah kejadian tunggal. Beberapa waktu sebelumnya, desa-desa lain di pulau yang sama juga dihantam air bah: Modapuhi, Trans Modapuhi, Sanihaya, hingga Waikasai (Mangoli Utara Timur).

Seakan seluruh pelosok Mangoli telah memberi isyarat: pulau ini sedang menuju jalan bencana.

Catatan sejarah memperkuat peringatan tersebut. Pada Juli 2022, banjir merendam 20 rumah di Desa Capalulu (Mangoli Tengah) dengan ketinggian air 60–70 cm.

Di Mangoli Timur, bencana lebih parah terjadi pada Juli 2020 dan Juli 2023, ketika 48 rumah di Desa Waitina terendam hingga 1,5 meter.

Bahkan pada tahun 2020, Sungai Balangkoyo di Desa Kou meluap deras, menenggelamkan puluhan rumah warga. Dari utara, tengah, hingga timur Mangoli, polanya sama: hujan deras turun, air meluap, warga menderita, dan kerugian tak terhitung.

Fakta ini menunjukkan bahwa Mangoli memang sudah lama menjadi pulau rawan banjir.

Dari Wailoba hingga Waisakai, daya dukung ekologisnya semakin rapuh. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga air terus berkurang.

Infrastruktur pengendali bencana pun tak mampu mengimbangi derasnya perubahan alam. Ironisnya, di tengah kondisi yang sudah genting ini, pemerintah justru memberi ruang bagi 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk beroperasi di Mangoli.

Keputusan ini bukan hanya keliru, tapi juga mempertaruhkan keselamatan ribuan keluarga.

Padahal Pulau Mangoli masih memiliki sekitar 17.675 hektare hutan lindung. Fungsinya vital: menyerap air hujan, mencegah longsor, menjaga aliran sungai, dan menyimpan cadangan air tanah.

Namun pengalaman panjang eksploitasi kayu oleh Barito Pasifik Timber Group telah meninggalkan jejak kerusakan.

Saat hutan hilang, air hujan tak lagi meresap dengan baik, melainkan mengalir deras menjadi banjir. Kini ancaman berikutnya datang dari pertambangan mineral.

Perubahan iklim memperburuk keadaan. Curah hujan ekstrem makin sering terjadi, dengan intensitas jauh di atas normal. Pola ini meningkatkan risiko banjir bandang.

Jika hutan penyangga di Mangoli ditebang habis oleh tambang, air hujan akan kehilangan jalurnya untuk meresap, lalu meluber ke pemukiman, menggerus kebun rakyat, dan menghanyutkan masa depan anak-anak di pulau ini.

Apa yang hari ini kita saksikan di Mangoli hanyalah prolog dari bencana yang lebih besar jika 10 IUP benar-benar dijalankan.

Namun paling sial dari banjir yang berulang di Pulau Mangoli adalah pola respons pejabat: ucapan belasungkawa, turun berswafoto di lokasi terdampak, lalu memerintahkan dinas terkait “meninjau situasi”.

Yang hilang? Kebijakan mitigasi yang lahir dari belajar pengalaman, bukan sekadar menambal luka setelah bencana datang.

Padahal zaman sudah terang. Data kebencanaan melimpah ruah. Foto satelit bukan barang langka, peta risiko banjir bukan ilmu baru.

Ada InaRISK, portal nasional hasil kajian risiko yang memuat cakupan wilayah ancaman bencana, jumlah populasi terdampak, potensi kerugian fisik, potensi kerugian ekonomi, hingga potensi kerusakan lingkungan.

Jika para pengambil kebijakan di Kepulauan Sula mau membuka peta ini, mereka akan melihat fakta telanjang: desa-desa di Mangoli Utara, Mangoli Tengah, Mangoli Timur, dan Mangoli Utara Timur rata-rata masuk kategori indeks bahaya tinggi (1,0).

Ancaman banjir bukan prediksi kabur, tapi kenyataan keras yang tinggal menunggu hujan berikutnya untuk merendam rumah dan merobohkan talud.

Seharusnya, jauh-jauh hari kebijakan mitigasi disusun dengan skema berbasis data. Early warning system dipasang, jalur evakuasi disiapkan, tata ruang desa ditata agar sungai tidak jadi momok, dan hutan lindung dipulihkan agar resapan air tetap terjaga.

Partisipasi masyarakat mesti jadi inti, bukan sekadar objek bencana. Dengan begitu, banjir berulang bisa ditanggulangi, kerusakan besar bisa dikurangi, dan korban jiwa bisa diselamatkan lewat informasi dini.

Karena itu, pilihan paling masuk akal bukan menyerahkan pulau ini pada tambang, melainkan menghentikan seluruh rencana 10 IUP.

Pulihkan kawasan lindung, jaga hutan penyangga yang tersisa, dan perkuat sungai sebagai sumber kehidupan, bukan sumber malapetaka.

Sebab jika kebijakan kita terus berhenti pada basa-basi, banjir di Mangoli hanya akan menghasilkan tiga hal: swafoto pejabat, korban baru, dan kerusakan yang bertumpuk. *

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page