MODI ESDM Ungkap Bisnis Tambang Gubernur Maluku Utara di Proyek Jalan Trans Halmahera

Klikfakta.id, JAKARTA — Pemerintah Provinsi Maluku Utara merancang pembangunan Jalan Trans Halmahera atau Trans Kie Raha sebagai bagian dari upaya mempercepat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun, langkah ambisius pemprov Malut ini juga menuai sorotan publik karena dinilai adanya sarat kepentingan politik dan industri tambang.

Jalan Trans Halmahera yang menghubungkan Ekor–Subaim menuju Kobe di Pulau Halmahera yang digadang-gadang sebagai upaya untuk memperkuat konektivitas antarwilayah.

Namun, jika dilihat lebih dekat, sebagian besar trase jalan Trans Halmahera justru melintasi kawasan industri dan konsesi tambang nikel berskala besar, terutama di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Jalur seperti Ekor–Kobe–Buli berada sangat dekat dengan lokasi-lokasi tambang dan smelter milik perusahaan nasional dan asing serta juga perushaan milik Gubernur Maluku Utara, PT. Karya Wijaya.

Hal ini tentu secara geografis, jalan ini menjadi urat nadi logistik tambang, bukan jalur mobilitas masyarakat desa.

Dengan kata lain, infrastruktur yang seharusnya berfungsi untuk kepentingan sosial kini berubah menjadi infrastruktur ekonomi yang melayani kepentingan industri nikel.

Pemerintah menggunakan narasi bahwa ini adalah pemerataan pembangunan menutupi kenyataan manfaat ekonomi terbesar justru mengalir ke sektor tambang, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat: apakah pembangunan ini sudah benar-benar ditujukan untuk kepentingan publik, atau justru lebih menguntungkan sektor industri tambang yang kini terus berkembang di Tanah Halmahera?

Proyek yang memiliki panjang kurang lebih puluhan kilometer ini dirancang bakal dikerjakan secara bertahap melalui kolaborasi Pemprov Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten.

Berdasarkan pernyataan sebelumnya Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengatakan bahwa pengerjaan jalan akan dimulai dari dua arah.

“Provinsi akan mulai dari kilometer 9 hingga 15, sementara Kabupaten Halmahera Tengah akan membangun dari Kobe ke arah Ekor. Jadi kita akan bertemu di tengah,” ujar Sherly.

“Selain membuka akses transportasi, proyek ini juga akan menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di sepanjang jalur Trans Halmahera,” tambahnya.

Meski begitu, Sherly menegaskan bahwa pelaksanaan proyek baru akan dimulai setelah persoalan lahan rampung dan diselesaikan.

Pemprov Malut telah menyiapkan anggaran antara Rp20 miliar hingga Rp40 miliar melalui APBD Perubahan 2025, yang akan dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Maluku Utara.

Menangapi rencana Gubernur Sherly Tjoanda, Manager dari Advokasi Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Malut, Mubalik Tomagola, saat dimintai mengatakan bahwa Proyek Jalan Trans Halmahera sarat dengan kepentingan politik.

“Bagi kami tak lain dari Sherly sebetulnya telah memperlihatkan watak pembangunan yang eksploitatif dan sarat dengan kepentingan politik, tidak adil, dan cenderung diskriminatif,” ujarnya berdasarkan rilis yang diterima klikfakta.id pada Selasa (28/10/2025).

Kata Mubalik, ambisi politik Gibernur Sherly jelas mengorbankan kepentingan warga. Kenapa? pemerintah daerah harusnya menjadikan Trans Halmahera sebagai solusi warga tempatan untuk mempermudah akses sumber-sumber kehidupan mereka.

“Bagi kami, proyek seperti ini tidak berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi warga. Karna yang terlihat ini semacam pesanan oligarki tambang,” tuturnya.

Mubalik menyatakan alih-alih pembangunan sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. Sherly hanya menjadikan proyek untuk Trans Halmahera sebagai konten politik dan gimmck belakang, Lebih-lebihnya memperlancar investasinya.

“Mungkin dengan sederhana agar ibu gub paham bahwa pembangunan sejati bukan tentang seberapa panjangnya jalan, tetapi tentang seberapa banyak warga yang sehat, seberapa banyak anak2 yang bisa merasakan sekolah,” tandasnya.

Senada, Astuti Kilwow, akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, menyoroti proyek Jalan Trans Halmahera yang saat ini tengah digenjot pemerintah provinsi Maluku Utara.

Menurutnya, bahwa proyek tersebut kerap dipromosikan sebagai langkah strategis untuk memperkuat konektivitas antar wilayah dan menjawab kebutuhan masyarakat, namun pada kenyataannya masih jauh dari cita-cita tersebut.

Ia mencontohkan, pada era 1990-an ketika pembangunan jalan lintas pertama di Halmahera dimulai dari wilayah Halmahera Barat menuju Halmahera Utara, jalur yang dibuka justru lebih banyak melewati kawasan investasi besar.

“Jalan yang dibangun waktu itu hanya melewati jalur-jalur yang ada investasi, seperti perusahaan kayu Barito dan perusahaan tambang emas NHM,” jelasnya.

Kata Astuty, pola seperti ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Halmahera sejak dulu lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang masyarakat.

Padahal, yang seharusnya jalan-jalan strategis dibangun untuk menghubungkan kawasan pemukiman dan sentra produksi rakyat, bukan sekadar menunjang aktivitas industri besar.

“Bahkan tahun 2000, sampai sekarang jalan lintas yang bagus ada di Halmahera Utara, dan kita tahu bersama di Halut ada gold mining atau tambang emas yang beroperasi,” ungkapnya.

Astuty Kilwow juga menilai, arah pembangunan infrastruktur di Maluku Utara masih belum beranjak dari pola lama yang berpihak pada kepentingan modal besar.

Astuty menegaskan, sudah sejak lama dirinya mengingatkan proyek-proyek pembangunan, baik di darat maupun laut, cenderung lebih diproyeksikan untuk menopang kepentingan investasi padat modal ketimbang kebutuhan masyarakat luas.

“Dari dulu saya sudah sampaikan bahwa proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, baik darat maupun laut, banyak diproyeksikan untuk kepentingan investasi padat modal,” ujar Astuty.

Menurut akademisi Unkhair Ternate ini Pemprov Maluku Utara saat ini tampak melanjutkan tradisi lama yang diwariskan pemerintah sebelumnya membangun infrastruktur dengan orientasi utama pada kepentingan industri, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Ia mengungkapkan bahwa proyek Jalan Trans Halmahera sejatinya bukan semata-mata proyek pembangunan untuk rakyat, melainkan bagian dari strategi besar memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera.

Dia menyebut, pembangunan jalan tersebut menjadi cerminan bagaimana oligarki nikel mulai masuk ke ranah politik demi memastikan kelancaran distribusi dan produksi industri tambang mereka.

“Proyek Jalan Trans Halmahera adalah rencana untuk memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera. Inilah cerminan bagaimana oligarki nikel masuk ke ranah politik untuk memuluskan jalur distribusi dan produksi mereka,” tegas paparnya.

Astuty Kilwow menegaskan, apabila pemerintah benar-benar ingin membuktikan bahwa memang kebijakan pembangunan dilakukan hanya untuk kepentingan masyarakat, maka langkahnya tidak boleh berhenti pada pembangunan infrastruktur semata.

Menurutnya, komitmen itu baru bisa dirasakan nyata jika pemerintah juga berani menutup tambang-tambang bermasalah yang beroperasi di sekitar kawasan pertanian dan perkebunan warga.

“Jika pemerintah klaim kebijakan mereka benar-benar untuk kepentingan masyarakat, seharusnya bukan hanya membangun jalan, tetapi juga menutup tambang-tambang yang bermasalah dan beroperasi di sekitar lokasi pertanian serta perkebunan masyarakat,” tegas Astuty.

Ia mengungkapkan, aktivitas pertambangan di Halmahera telah menimbulkan kerusakan serius terhadap lingkungan. Tak hanya di daratan, akan tetapi ekosistem laut pun ikut tercemar akibat limbah industri nikel yang tidak terkendali.

“Tambang itu tidak hanya merusak ekosistem di daratan, tapi laut juga ikut tercemar. Dampaknya sudah dirasakan, seperti di Wasile, dimana lahan sawah warga kini tidak lagi subur untuk ditanami karena area disekitar sawah sudah diberikan izin pertambangan nikel,” tukasnya.

Astuty Kilwow menilai kebijakan pembangunan di Maluku Utara, khususnya wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Utara, menunjukkan pola ekstraktivisme kebijakan, dimana negara justru memfasilitasi industri tambang menggunakan dana publik.

Fenomena tersebut, lanjut Astuty tampak jelas dari cara infrastruktur publik difungsikan untuk kepentingan korporasi besar, bukan masyarakat. Di Halmahera Tengah, aktivitas industri tambang bahkan telah menguasai ruang publik.

Alat-alat berat milik perusahaan tambang juga beroperasi dijalan-jalan umum, termasuk di jalur lintas utama yang seharusnya digunakan untuk mobilitas warga.

“Di Halmahera Tengah juga sama, alat-alat berat beroperasi di jalan-jalan publik seperti jalan lintas,” tutupnya.

Untuk diketahui, berdasarkan data terbaru di MODI (Minerba One Data Indonesia) milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proyek jalan yang digadang-gadang sebagai simbol konektivitas Maluku Utara ini diduga melintasi kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Gubernur Maluku Utara sendiri.

Data di laman resmi MODI ESDM menunjukkan, perusahaan yang berafiliasi dengan Gubernur tidak hanya beroperasi di Pulau Gebe, tetapi juga memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah lain Halmahera Tengah. Hal itu diperkuat dengan terbitnya izin operasi pertambangan baru yang tercantum di situs resmi ESDM.

Dalam dokumen tersebut, tercantum jelas nama Komisaris Gregory Dhana N, Komisaris Utama Fina Rusiyanti dan Direktur Bharat Kumar Jain dan Direktur Utama Josef Humato dengan keterangan bahwa mereka resmi menjabat mulai 19 Juli 2025. Kemudian dokumen tersebut tertera pemegang saham mayoritas atas perusahan itu adalah Sherly Tjoanda. ***

Editor     : Redaksi

Pewarta : Saha Buamona

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page