Negeri ini tidak miskin orang pintar. Setiap tahun, ratusan sarjana dilahirkan, gelar-gelar akademik kian menumpuk, para ahli dan pakar bermunculan dengan teori, konsep, dan gagasan cemerlang.
Media sosial penuh dengan analisis kritis, ruang diskusi riuh oleh argumen cerdas, dan podium akademik tak pernah sepi dengan orasi intelektual.
Namun, ada satu kenyataan pahit yang menghantui: kita hidup di negeri yang dipenuhi orang pintar, tetapi sangat sedikit yang berani bersuara.
Keberanian telah menjadi barang langka. Banyak yang memilih diam, entah karena takut kehilangan jabatan, takut dipersekusi, atau sekadar takut tidak lagi nyaman.
Suara hati diredam oleh rasa takut, padahal ketidakadilan semakin menganga. Ironisnya, diam justru membuat ketidakadilan tumbuh subur.
Apalah arti kepintaran jika tidak digunakan untuk membela kebenaran? Orang pintar tanpa keberanian hanyalah penonton di panggung sejarah, menyaksikan kezaliman tanpa berbuat apa-apa. Mereka ibarat lentera yang cahayanya ditutup rapat, sehingga tak pernah benar-benar menerangi jalan.
Sejarah bangsa ini membuktikan: perubahan besar tidak pernah lahir dari orang-orang yang hanya pandai berhitung, tetapi dari mereka yang berani melawan arus.
Bung Karno bukan hanya seorang intelektual, tetapi juga seorang pemberani. Wiji Thukul bukan hanya penyair, tetapi suara lantang rakyat kecil.
Jika mereka hanya memilih diam, barangkali negeri ini masih terjajah dalam berbagai bentuk.
Hari ini, kita melihat paradoks: orang pintar berbicara panjang lebar di ruang akademik, ruang diskusi dan warung kopi tetapi bungkam di depan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Mereka lihai menganalisis kebijakan yang menindas, tetapi memilih “aman” ketika rakyat membutuhkan keberanian mereka. Mereka kritis di ruang kelas, tapi apatis di ruang publik.
Padahal, diam di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan melainkan pengkhianatan.
Negeri ini tidak akan maju hanya dengan orang pintar. Ia butuh orang pintar yang berani. Berani mengubah kepintaran menjadi sikap, mengubah analisis menjadi tindakan, dan mengubah suara hati menjadi seruan publik.
Kita tidak bisa terus berharap pada segelintir orang yang bersuara. Jika mayoritas memilih diam, maka kekuasaan yang zalim akan terus berjaya. Karena kezaliman tidak hanya hidup dari keberanian penguasa yang salah arah, tetapi juga dari ketakutan rakyat yang memilih bungkam.
Hari ini, menjadi pertanyaan besar yang harus kita jawab adalah: apakah kita rela menjadi generasi pintar yang pengecut, atau generasi berani yang dikenang?
Negeri ini sedang menunggu. Menunggu orang-orang pintar yang bukan hanya pandai berpikir, tetapi juga siap mengambil resiko untuk kebenaran. Karena sejarah tidak ditulis oleh mereka yang diam, melainkan oleh mereka yang bersuara. *