OPINI  

Surat Terbuka untuk Ibu Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Jangan Menambang Diatas Tanah Bencana

Oleh : Aliansi Bumi Mangoli

Ibu Bupati yang terhormat,

Pernahkah Ibu, disetiap hujan deras yang turun, merasa was-was terhadap keselamatan diri dan keluarga? Pernahkah Ibu merasakan bagaimana rasanya menjadi korban banjir—air masuk ke rumah, membawa lumpur, dan meninggalkan ketakutan yang tak kunjung reda setiap kali langit mendung?

Di Pulau Mangoli, rasa takut itu bukan sekadar kemungkinan, melainkan kenyataan yang terus menghantui. Setiap hujan deras, warga selalu cemas, sebab mereka tahu banjir bisa datang kapan saja.

Dari Desa Wai Lab sampai ujung pulau Mangole Desa Waisakai , jejak banjir menjadi tanda bahwa Mangoli adalah pulau yang rapuh, rentan, dan terus terancam.

Banjir di desa Mangole dan Modapuhi beberapa saat yang lalu adalah bukti nyata untuk dijadikan peringatan keras : JANGAN MENAMBANG DI ATAS TANAH BENCANA!.

Dan, Ibu Bupati, pernahkah Ibu membayangkan kehilangan lahan tempat masyarakat menggantungkan hidup? ladang pangan, kebun kelapa, ladang sagu—semua itu bisa hilang jika perusahaan tambang menguasai tanah Mangoli.

Hari ini ada 10 IUP yang siap mencengkeram pulau ini. Bagi masyarakat, itu bukan sekadar izin usaha, melainkan ancaman terhadap sumber pangan, air bersih, dan masa depan anak-anak. Apa yang tersisa dari hidup jika tanah yang diwarisi leluhur digusur menjadi lubang tambang?

Pada hari Minggu lalu, enam pemuda dari Desa Kou berjalan kaki sejauh 13 kilometer menuju Desa Kawata.

Mereka datang untuk memenuhi undangan nonton bareng film dokumenter tentang krisis sosial-ekologis di lingkar tambang.

Mereka memilih berjalan kaki, Ibu, karena laut sedang pasang, sementara akses darat untuk kendaraan tak bisa dilalui—jalan di ujung Mangoli Timur belum selesai meski Kabupaten Kepulauan Sula sudah berdiri 20 tahun lamanya.

Pernahkah Ibu merasakan berjalan sejauh itu, Ibu Bupati? Menempuh langkah demi langkah di jalan tanah yang licin, hanya karena hak dasar infrastruktur tak kunjung terwujud?

Namun, sesampainya di Kawata, para pemuda itu bertemu dengan Aliansi Masyarakat Kawata Tolak Tambang (AMKT). Dari perjumpaan itu lahirlah gagasan besar: Aliansi Bumi Mangoli, sebuah persatuan masyarakat lintas desa untuk menolak tambang.

Dengan dana swadaya, mereka merencanakan perjalanan ke Sanana untuk menggelar aksi pada Kamis, 29 Agustus.

Itu semua lahir bukan dari kepentingan pribadi, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa Mangoli harus diselamatkan.

Ibu Bupati yang terhormat, Surat ini lahir bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengajak Ibu merasakan apa yang dirasakan rakyat Mangoli: takut pada banjir, cemas kehilangan tanah, letih berjalan kaki puluhan kilometer, dan kecewa karena pulau ini diperlakukan seperti tanah kosong. Kami ingin Ibu hadir, bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai seorang ibu bagi anak-anak Mangoli.

Apakah Ibu rela menyerahkan Mangoli pada tambang, sementara generasi berikutnya hanya mewarisi lumpur dan banjir? Ataukah Ibu akan berdiri bersama rakyat, menjaga hutan, tanah, dan laut agar tetap jadi sumber kehidupan?

Sejarah akan mencatat pilihan Ibu. Dan rakyat Mangoli, dengan segala kerentanannya, sedang menunggu jawaban. *

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page