Polda Malut Didesak Bebaskan 11 Warga Adat Haltim, dan Pemprov Malut Segera Cabut IUP PT. Position

Desak Kapolri Copot Kapolda Malut

Klikfakta. id, TERNATE– Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Anak Muda Nahdliyin( AMAN) Maluku Utara mendesak Polda Malut membebaskan 11 orang aktivis pejuang lingkungan Maba Sangaji dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT. Position di wilayah Kabupaten Halmahera Timur.

Desakan ini disampaikan melalui aksi unjuk rasa yang digelar puluhan mahasiswa dan mahasiswi di depan kediaman Gubernur Malut di Kota Ternate, dan Polda Malut, pada Selasa 3 Juni 2025.

Aksi yang dilakukan puluhan mahasiswa itu dengan menggunakan satu unit mobil pick up dilengkapi dengan sound system serta umbul-umbul bertuliskan bebaskan 11 warga adat Maba Sangaji, tanah air untuk hidup bukan dikeruk, dan stop kriminalisasi masyarakat adat.

Wahida A. Abd Rahim selaku Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Maluku Utara menilai telah terjadi perselingkuhan antara Pemkab Haltim dan Pemprov Malut maupun pihak kepolisian serta perusahaan.

“Perlu kami sampaikan bahwa kami tidak lagi percaya kepada pihak kepolisian, karena sampai sejauh ini aksi kami tak diindahkan oleh pihak pimpinan kepolisian dalam hal ini bapak Kapolda Maluku Utara,” ujar Wahida dalam orasinya.

Untuk itu pihaknya meminta kepada Kapolri agar secepatnya mencopot bapak Kapolda Maluku Utara, karena telah melindungi oligarki (PT Position) seperti saat ini terjadi di halmahera timur.

” Jadi kalau bisa segera ganti, karena dia (Kapolda) tak pernah indahkan beberapa kali aksi, mulai dari masyarakat adat, kawan-kawan HMI dan lain sebagainya tidak pernah turun temui massa aksi, justru kriminalisasi dari pihak kepolisian yang didapatkan, sangat disayangkan, ” sebutnya.

“Jujur saja kami ini sangat cinta institusi kepolisian karena integritas mereka, tetapi jika keberpihakan mereka cenderung ke oligarki maka mohon maaf kami tidak lagi percaya institusi tersebut,” tuturnya.

Menurut Wahida kehadiran Aliansi Anak Muda Nahdliyin Maluku Utara bahwa ada beberapa poin penting yang didorong ke Komnas HAM, Ombudsman RI, untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

“Meski Saya bukan orang Halmahera Timur, tapi karena saya manusia, maka dipundak saya sesama manusia harus saling tolong menolong, jadi siapa yang tidak menolong 11 orang warga Haltim yang ditetapkan sebagai tersangka, berarti perlu di pertanyakan eksistensi kemanusiaannya,” paparnya.

Ditengah-tengah prosesi sakral, saat warga hendak memulai ritual adat sebagai bentuk penolakan terhadap kehancuran tanah mereka, negara hadir membawa borgol, bukan perlindungan.

Sebab sebanyak 27 warga ditangkap secara paksa oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara saat menggelar aksi protes terhadap aktivitas tambang nikel milik PT Position, pada Minggu, 18 Mei 2025 lalu.

“Protes mereka bukan tanpa alasan, karena itu adalah jeritan panjang warga yang berbulan-bulan menyaksikan hutan adat mereka dihancurkan, sungai-sungai diracuni lumpur tambang, dan kebun-kebun yang mereka rawat turun- temurun diubah menjadi tanah mati,” ujar Wahida dalam orasinya.

Menurutnya PT Position, adalah perusahaan tambang nikel yang terafiliasi dengan taipan Kiki Barki salah satu orang terkaya di Indonesia versi Forbes telah menerobos masuk tanpa izin rakyat dan tidak ada pemberitahuan serta persetujuan maupun musyawarah.

“Yang ada hanyalah suara alat berat yang menggantikan suara burung di hutan, dan ancaman aparat yang menggantikan perlindungan negara,” ungkapnya.

Dan ketika warga berdiri mempertahankan tanah mereka sendiri, kata Wahida negara justru datang sebagai algojo, sebab prosesi ritual adat dihentikan paksa, dan Intimidasi, pemukulan, pengambilan sidik jari tanpa pendampingan hukum.

“Serta melakukan pemaksaan tanda tangan dokumen, dan tes urin cacat prosedur menjadi “sambutan” negara kepada rakyat yang berani bicara,” tukasnya.

Dari 27 warga yang ditahan, dan 16 orang dibebaskan, akan tetapi 11 lainnya ditetapkan sebagai tersangka kriminal, dengan tuduhan prematur dan penuh rekayasa, pemerasan, pengganggu investasi, pembawa senjata tajam.

“Ini adalah bentuk kriminalisasi yang terang-terangan dan bukan baru pertama, parang yang digunakan untuk berkebun kini dianggap senjata, ritual adat dianggap premanisme, dan teriakan rakyat dianggap menghalangi investasi,” tuturnya.

Untuk itu Ia menegaskan Pasal 162 UU Minerba kembali digunakan sebagai senjata hukum untuk membungkam rakyat, Pasal karet ini telah lama menjadi momok bagi petani, masyarakat adat, dan nelayan yang berani menyuarakan keberatan terhadap perampasan ruang hidup.

Pasal ini tentu bertentangan langsung dengan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009, menyatakan bahwa setiap orang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Ini artinya negara telah melawan dirinya sendiri dengan dalih hukum, ia menindas warganya yang sedang mempertahankan hidup serta menafikan Pasal 28A dan 28H ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak hidup, hak atas lingkungan hidup yang layak, dan hak atas perlindungan dari segala bentuk ancaman terhadap kehidupan,” imbuhnya.

Apa yang lebih jahat dari negara yang menjadikan hukum sebagai alat kekerasan? Apa yang lebih menyakitkan dari keadilan yang berpihak hanya pada pemilik modal? kata KH. Hasyim Asy’ari

Wahida kembali menegaskan PT. Position adalah perusak, dan Negara pelindungnya, sementara masyarakat adat Maba Sangaji yang merawat tanah, menjaga hutan, serta hidup dari sungai, diinjak martabatnya, dikriminalisasi, maupun dikhianati.

“Inilah wajah sesungguhnya dari investasi, kekayaan yang dikumpulkan di atas penderitaan rakyat, Korporasi dilindungi, rakyat dikorbankan dan ketika rakyat melawan, mereka dicap sebagai musuh negara,” tukasnya.

Maka aliansi anak muda nahdhliyin Maluku Utara mendesak segera bebaskan 11 warga maba sangaji yang ditahan, hentikan segala bentuk kriminalisasi masyarakat adat, cabut IUP PT. Position yang terbukti merusak lingkungan dan melanggar hak masyarakat adat.

Kemudian usut tuntas keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan terhadap warga, pemerintah pusat dan daerah wajib mengakui serta melindungi hak masyarakat adat atas wilayah ulayat, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, Putusan MK No 35/PUU-X/2012, serta deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP).

“Tidak ada kedaulatan tanpa pengakuan terhadap hak rakyat atas tanah dan air!, hentikan perampasan ruang hidup rakyat atas nama investasi, copot kapolda maluku utara, meminta komnas HAM dan Ombudsman RI untuk melakukan investigasi mendalam atas dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara dalam konflik pertambangan di Maluku Utara, terutama konflik antara masyarakat maba sangaji dengan PT. Position yang melakukan penyerobotan atas kebun-kebun warga,” tegasnya. ***

Editor    : Redaksi

Pewarta : Saha Buamona

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page