Sefnat Tagaku, Pegiat Literasi

Sepintas : Wajah Demokrasi di Maluku Utara Hari Ini

Akhir-akhir ini, dinding media sosial dipenuhi dengan pembahasan tentang proses demokrasi yang telah dilangsungkan pada beberapa waktu kemarin, tepatnya 14 Februari 2024.

Berbagai perspektif kemudian lahir untuk ikut menilai ‘pesta’ demokrasi itu. Dari berbagai perspektif yang di publikasikan melalui media online, penilaian negatif terhadap tahapan demokrasi kemarin lebih mendominasi.

Memang, soal nilai demokrasi di Indonesia secara menyeluruh mengalami degradasi dari sebelumnya. Seorang sosilog Universitas Padjadjaran, Jannus TH Siahaan, dalam artikelnya dia menyebut bahwa skor indeks demokrasi global Indonesia masih tercatat kurang berkembang positif.

Terkait kualitas demokrasi, Indonesia berada dibawah Kolombia dan Filipina dengan skor 1,67, dan berada pada peringkat ke-54 dari 167 negara sebagaimana terungkap dari laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2023 ini.

Di Maluku Utara secara khusus, sejauh ini belum ada data survei yang membuktikan kualitas demokrasi di daerah berslogan “ Marimoi Ngone Futuru” ini, namun paling tidak kita dapat mengukurnya secara kritis melalui pemikiran publik yang tercatat melalui media sosial.

Artinya, setiap pemikiran masyarakat yang dituangkan kedalam pemberitaan media sosial pun merupakan sebuah ukuran yang dapat dijadikan sebagai pembuktian fakta pemilu di  maluku utara.

Dari pandangan-pandangan itu, lalu dikorelasikan untuk mengukur kualitas demokrasi kita. Sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang dapat kita tarik dari pandangan publik untuk dijadikan sebagai bahan dalam mengukur kualitas demokrasi di maluku utara.

Pertama, masifnya gerakan politik uang sebagai upaya kemenangan pada pemilu 2024 melalui transaksi jual beli suara.

Sederhananya, suara rakyat dibeli oleh caleg dengan nominal yang bervariasi yang berdasar pada kesepakatan jumlah suara sesuai permintaan pelaku politik.

Kedua, pemanfaatan mesin birokrasi pemerintahan yang turut menggerakkan para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kepala-kepala desa, untuk memenangkan partai politik tertentu yang memiliki hubungan erat dengan kekuasaan.

Semisalnya, di Halmahera Selatan didominasi oleh PKS, Halmahera Utara oleh Golkar, Halmahera Barat oleh Demokrat, Tidore Kepulauan oleh PDIP dan kabupaten kota lain yang menunjukkan adanya intervensi kekuasaan birokrasi.

Ketiga, kejahatan penyelenggara pemilu pada tahapan pungut-hitung dengan melakukan pergeseran angka-angka perolehan suara calon legislatif dan partai politik sehingga terjadi selisih yang sangat signifikan, antara; C hasil (tingkat TPS), D hasil (pleno rekap kecamatan) dan DA hasil (pleno kabupaten).

Tiga hal diatas menjadi acuan kongkrit, yang paling tidak dapat dipercaya untuk mengukur kualitas demokrasi kita di maluku utara.

Maka dengan mulusnya praktek buruk yang dipertontonkan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa maluku utara mengalami degradasi nilai demokrasi.

Tidak hanya mengalami degradasi, bahkan jika kita memiliki ukuran real berdasarkan kriteria indeks demokrasi, saya meyakininya kita akan mendapatkan skor 1 dari target pencapaian nilai 0-10.

Artinya, wajah demokrasi kita hari ini mungkin yang paling buruk dari 38 Provinsi di Indonesia.

Demokrasi Buruk, Kualitas DPRD?

Kita baru saja melewati proses pemilihan umum pada beberapa hari kemarin, dimana rakyat Indonesia dan khususnya di Maluku Utara memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, perwakilan DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi hingga DPRD tingkat Kabupaten (disebut : pesta demokrasi).

Tahapan panjang yang cukup menguras energi dan waktu itu, berhasil membentuk paradigma negatif rakyat terhadap kehidupan demokrasi di maluku utara, yang kemudian dipercaya akan memberi dampak buruk pada kinerja lembaga DPRD dalam mewakili aspirasi masyarakat.

Memang secara tahapan, setiap anggota DPRD terpilih yang lahir melalui pemilu 2024, baru akan dilantik pada September mendatang.

Namun membayangkan mereka yang lahir dari tumpuan intervensi kekuasaan, permainan money politic serta dampak dari kecurangan penyelenggara, akan mengakibatkan krisis moral manakala opsi diberikan ‘rakyat, projek, atau birokrasi’?

Peluang untuk mempertimbangkan kondisi rakyat akan dipastikan lebih kecil, ketimbang pendapatan pribadi melalui tender projek dan atau mengedepankan rasa pada keberadaan birokrasi.

Lalu apa yang kita harapkan dari wakil rakyat semacam ini? Nanti juga disayangkan.

Beberapa pengalaman besar yang dapat dipelajari, akibat lemahnya fungsi pengawasan DPRD, sistem birokrasi di maluku utara mengalami kebobrokan yang sangat fatal.

Tercatat kasus yang lagi trend, adalah problem suap-menyuap jabatan dan projek, serta beberapa persoalan lainnya diberbagai daerah wilayah maluku utara belum juga terselesaikan.

Meski demikian, kita perlu menyadari bahwa setiap wakil rakyat yang terlahir melalui tahapan demokrasi yang hak sepenuhnya diberikan kepada masyarakat.

Artinya, sekuat apapun intervensi kekuasaan dan permainan money politic itu dimainkan, sepanjang rakyat menghargai hak politiknya lebih dari uang dan kekuasaan, demokrasi kita akan membaik dan melahirkan wakil rakyat berkualitas.

Sayangnya, sepanjang proses perpolitikan di maluku Utara, kita (masyarakat) hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi.

Namun ketika momentum itu tiba lagi, gaya dan cara lama kembali kita lakukan. Alhasil, daerah kita terus mengalami ketertinggalan dari berbagai segi pembangunan. Selamat menanti kenerja para wakil rakyat yang baru. Salam demokrasi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *