Klikfakta.id— Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras dugaan tindak penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI-AL yang bertugas di Pos Lanal Kabupaten Halmahera Selatan terhadap jurnalis media online sidikkasus.co.id yang bernama Sukandi Ali.
Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis, 28 Maret 2024 di Pos TNI-AL Panamboang, Kecamatan Bacan Selatan, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
” Berdasarkan informasi yang kami diperoleh, peristiwa penyiksaan ini dipicu oleh pemberitaan mengenai diamankannya satu kapal tanker bermuatan puluhan ribu KL bahan bakar minyak yang diduga milik Ditpolairud Polda Maluku Utara yang diamankan oleh TNI-AL,” ujarnya dalam rilis yang diterima Klikfakta.id, Senin 1 April 2024.
Bahan bakar minyak jenis Dexlite yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan operasional patroli milik Direktorat Polisi Air dan Udara Polda Maluku Utara khususnya kota Ternate ini diduga akan diperjualbelikan.
Berita ini dimuat oleh media Sidikkasus.co.id tertanggal 26 Maret 2024. Para terduga pelaku berinisial Letda M dan Peltu R tidak terima atas pemberitaan tersebut dan mencoba mendatangi korban untuk mengonfirmasi terkait isi pemberitaan tersebut.
Ditemani oleh seorang Babinsa, korban dijemput di kediamannya lalu membawanya menuju Pos TNI-AL yang berada di wilayah Panamboang.
Di sini korban diinterogasi dan mengalami berbagai bentuk dugaan tindak penyiksaan.
Menurut kesaksian korban, ia mengalami tindak penyiksaan antara lain dipukul, ditendang menggunakan sepatu lars, dicambuk menggunakan selang, hingga diancam menggunakan pistol.
Bahkan korban menyatakan para pelaku sempat melepaskan tembakan peringatan untuk mengintimidasi korban.
Atas peristiwa ini, korban mengalami luka-luka di bagian punggung, bahu, dan kepala akibat cambukan selang serta gigi patah.
Lebih lanjut, korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Halmahera Selatan.
” Kami menilai bahwa tindak penyiksaan yang dilakukan oleh 2 prajurit TNI-AL tersebut merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan baik hukum nasional maupun internasional,” tegasnya.
Adapun peraturan yang dimaksud adalah UU 5/1998 tentang Pengesahan Kovenan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam.
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Peraturan Panglima TNI Nomor 73/IX/2010 tentang Penentangan Terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Selanjutnya, korban yang berprofesi sebagai jurnalis juga sejatinya memiliki hak kebebasan dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan/atau penekanan agar masyarakat mendapatkan informasi yang terjamin sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), serta mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 UU 40/1999 tentang Pers.
Kasus kekerasan jurnalis yang melibatkan aparat negara bukan kali ini saja terjadi.
Belum hilang dibenak kita semua kasus pembunuhan terhadap Jurnalis Bernas–kantor berita lokal asal Yogyakarta– Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin yang terjadi pada 13 Agustus 1996.
Jurnalis Udin ditemukan meninggal di rumahnya dalam keadaan penuh luka pada bagian kepala sebelum akhirnya meninggal sesaat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Dalam proses investigasi yang dilakukan, pembunuhan jurnalis Udin berkaitan dengan pemberitaan terkait dugaan korupsi Sri Roso Sudami Bupati Bantul yang memiliki latar belakang militer dan saat itu hendak mencalonkan kembali sebagai kepala daerah.
Dugaan pelaku lapangannya berasal dari aparat militer yang memiliki relasi dengan Sri Roso Sudami.
Belum tuntas kasus jurnalis Udin, peristiwa kekerasan dan penghalang-halangan oleh aparat negara terhadap kerja-kerja pers terjadi pasca reformasi.
Tepatnya pada 27 Maret 2021 kala itu, jurnalis Tempo, Nurhadi yang sedang mendalami dugaan tindak pidana korupsi terhadap Direktur Pemeriksaan Dirjen Pajak Angin Prayitno yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka KPK.
Nurhadi ketika itu hendak meminta konfirmasi kepada Angin Prayitno yang sedang menghadiri acara pernikahan di gedung, Surabaya.
Namun ketika hendak melakukan wawancara, Nurhadi dihalang-halangi oleh anggota kepolisian yang sedang berjaga hingga melakukan kekerasan dengan cara memiting leher Nurhadi.
” Dalam kasus yang menimpa Sukandi Ali, kami menilai tindakan yang dilakukan oleh kedua prajurit TNI-AL tersebut merupakan bentuk ancaman nyata terhadap penghalangan kerja-kerja jurnalistik yang sangat membahayakan kebebasan pers di Indonesia,” jelasnya.
Diabaikannya mekanisme akuntabilitas hukum dan tiadanya perhatian dalam memberikan jaminan pemulihan kepada korban menjadikan kasus-kasus kekerasan terus terjadi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, KontraS mendesak:
Pertama, Panglima TNI beserta jajarannya untuk dapat mengambil langkah serius dan konkrit dalam melakukan pengawasan serta pencegahan terhadap para anggota agar peristiwa kekerasan serta penyiksaan tidak terulang kembali serta melakukan tindakan tegas bagi anggota yang melanggar dengan menggunakan mekanisme hukum yang setimpal. Serta kedua pelaku penyiksaan untuk diadili melalui peradilan umum;
Kedua, Kapolda Maluku Utara untuk segera memproses laporan yang telah diajukan oleh korban serta melakukan penyelidikan dan penyidikan secara independen dan akuntabel, serta memberikan akses informasi secara berkala kepada korban dan keluarga korban;
Ketiga, Komnas HAM untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dan dapat melakukan pemantauan atas proses hukum yang saat ini sedang ditempuh;
Keempat, LPSK untuk dapat secara aktif memberikan jaminan atas perlindungan dan keamanan atau keselamatan kepada keluarga dan juga korban.***
Sumber : KontraS